Judul :
link :
Minggu 30 Juni 2019, 12:00 WIB
Kolom
"Flash Mob" Tari di Malioboro dan Penyegaran Seni Tradisi
Jakarta -
Lono Simatupang (2013) menggambarkan, dalam keseharian, setiap kita mungkin pernah tidak sengaja berhenti di tengah jalan untuk melihat kecelakaan lalu lintas, pencopet yang tertangkap, tawuran, atau demonstrasi. Lalu kita mendengar ungkapan "Sudah! Sudah! Ini bukan tontonan!". Atau, "Bubar, memangnya ini pertunjukan!". Dan sebagainya. Maksud perkataan itu menyiratkan adanya pemisahan antara yang benar-benar tontonan dan yang bisa dianggap (seolah-olah) tontonan.Lalu kapan sebuah peristiwa menjadi benar-benar tontonan? Ternyata, suatu aktivitas baru disebut sebagai tontonan apabila dilakukan dengan kesengajaan maksud untuk dilihat oleh orang lain, dipertontonkan atau digelar. Jadi, kehendak untuk mempergelarkan sesuatu merupakan "syarat pertama" sebuah tontonan. Namun, kenapa sebagian orang tetap (seringkali tidak sengaja) menonton hal-hal yang oleh pelakunya tidak dimaksudkan sebagai tontonan?
Ternyata, karena peristiwa-peristiwa itu menyajikan sesuatu yang tidak biasa (extraordinary). Berdasarkan itu, maka "syarat kedua" adalah ketidakbiasaan sebagai daya tarik tontonan. Gabungan keduanya menghasilkan "syarat ketiga", yakni adanya peristiwa yang mempertemukan antara maksud penyaji untuk menggelar sesuatu yang tidak biasa dengan harapan penonton untuk mengalami sesuatu yang tidak biasa pula.
Hal itulah yang mencoba dilakukan oleh sekumpulan anak muda saat membuat flash mob Tari Wanara di Jalan Malioboro. Ada kesengajaan dari mereka untuk mempergelarkan tontonan yang tidak biasa bagi masyarakat. Ketidakbiasaan itu antara lain mengubah jalan sebagai panggung. Tidak ada lagi batas pemisah antara siapa penampil dan penonton. Bahkan masyarakat dapat turut terlibat langsung untuk menari dan merasakan sensasi yang hendak digapai.
Lebih penting lagi, tarian itu mendekonstruksi pandangan tentang bagaimana tradisi harus dinikmati. Pelaku tak harus berias (berkostum) selayaknya penari panggung. Mereka justru memakai pakaian keseharian, biasa dan sederhana, alias tidak jauh beda dengan orang kebanyakan yang hadir di Jalan Malioboro. Hal itu menimbulkan efek tak terduga bagi penonton (masyarakat), bahwa di sekeliling mereka bertebaran penari yang tak menunjukkan jatidirinya sebagai penari.
Kostum keseharian itu menghapus jarak atau sekat. Dan masyarakat begitu terkejut saat tarian yang awalnya hanya dibawakan oleh seorang penari, semakin lama tiba-tiba bertambah banyak. Satu per satu penari itu muncul di sela-sela keramaian penonton. Bahkan tidak sedikit penonton yang mencoba untuk ikut menari.
Tontonan yang membosankan di atas panggung menjadi begitu bergairah saat dihadirkan di keramaian jalan. Hal yang demikian seolah melawan gaya pertunjukan tari yang selama ini lebih mengandalkan jumlah penari (kolosal) dalam penyajiannya, dibanding wacana atau gagasan yang ditimbulkan. Saat Banyuwangi menggelar Gandrung Sewu yang diikuti kurang lebih seribuan penari, tiba-tiba di beberapa daerah meniru dan melakukan hal serupa.
Muncullah kemudian Tari Gambyong yang ditarikan oleh 5.000 penari di Solo, Tari Saman yang dibawakan oleh 12.000 penari di Aceh, Tari Poco-poco yang dibawakan 65.000 penari di Jakarta, dan masih banyak lagi. Kalkulasi keberhasilan tontonan itu diukur dari jumlah banyak dan sedikitnya penari, bukan dari efek yang ditimbulkan dari peristiwa itu. Akibatnya, setelah selesai pertunjukan, maka selesai pula isu tentangnya.
Yang didapat adalah penghargaan berupa selembar sertifikat, berisi keberhasilan memecahkan rekor jumlah penari, tidak lebih. Hari ini, gaya yang demikian sudahlah ketinggalan zaman. Bila mengacu dari pandangan Lono Simatupang di atas, tidak ada aspek keterkejutan atau kebaruan selain bertambah dan menyusutnya jumlah penari. Terlebih, tontonan itu sengaja digelar di tempat yang sudah ditentukan sebagai "panggung", batas antara penonton dan penari sangat terlihat jelas.
Sementara flash mob tidaklah demikian. Georniana Gore lewat tulisannya Flash Mob Dance and the Territorialisation of Urban Movement (2010) menjelaskan bahwa flash mob menjadi menarik karena awalnya ditujukan untuk menyampaikan pesan secara unik (kata lain dari aneh). Flash mobdilakukan di area publik atau keramaian, dengan waktu yang terbatas, dan berakhir ketika aparat (polisi atau petugas keamanan) datang untuk membubarkan mereka.
Penyegaran
Flash mob tari hadir di tengah masyarakat urban, tidak sekadar untuk menghibur, namun juga memberi penyegaran di balik rutinitas hidup yang monoton-membosankan. Para pelaku itu "membawa" tari hadir di tengah-tengah aktivitas masyarakat tanpa harus jauh-jauh datang ke panggung pertunjukan. Flash mob kemudian memicu tawa, kebahagiaan, kesan, dan kekaguman mendalam di benak penonton.
Demikian pula flash mob di Jalan Malioboro. Walaupun tidak seketat mengikuti aturan flash mob pada umumnya, namun mampu memberi alternatif gaya baru bagi seni tradisi lain untuk mempertontonkan sesuatu yang biasa menjadi tidak biasa. Ketidakbiasaan itu yang ditunggu. Tentu saja tak harus muluk, apalagi mahal.
Aris Setiawan ; Etnomusikolog, pengajar di ISI Surakarta ***
Video flash mob "Beksan Wanara" yang ditampilkan di area Jalan Malioboro, Yogyakarta (18/6/19) menarik perhatian masyarakat luas. Video tersebut menjadi perbincangan hangat dan sempat viral di media sosial. Semua penari adalah anak-anak muda. Tarian yang sejatinya menjadi tontonan biasa saja saat di panggung-panggung pertunjukan itu begitu istimewa saat disajikan di tengah jalan, di hadapan masyarakat yang berlalu-lalang untuk berbelanja dan berwisata di area Malioboro.
Peristiwa itu menjadi kabar yang menggembirakan bahwa apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisi masih cukup tinggi. Tetapi hal itu juga menyisakan catatan penting lain bahwa sudah selayaknya (kesenian) tradisi dapat menembus batas-batasnya, tidak lagi kaku dan beku semata di atas panggung, namun dapat hadir di mana pun secara mengejutkan, mendadak, dan berefek menciptakan kesan mendalam. Dengan gaya yang demikian, pandangan kita terhadap apa itu "tontonan" menjadi menarik untuk dikoreksi.
TontonanPeristiwa itu menjadi kabar yang menggembirakan bahwa apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisi masih cukup tinggi. Tetapi hal itu juga menyisakan catatan penting lain bahwa sudah selayaknya (kesenian) tradisi dapat menembus batas-batasnya, tidak lagi kaku dan beku semata di atas panggung, namun dapat hadir di mana pun secara mengejutkan, mendadak, dan berefek menciptakan kesan mendalam. Dengan gaya yang demikian, pandangan kita terhadap apa itu "tontonan" menjadi menarik untuk dikoreksi.
Lono Simatupang (2013) menggambarkan, dalam keseharian, setiap kita mungkin pernah tidak sengaja berhenti di tengah jalan untuk melihat kecelakaan lalu lintas, pencopet yang tertangkap, tawuran, atau demonstrasi. Lalu kita mendengar ungkapan "Sudah! Sudah! Ini bukan tontonan!". Atau, "Bubar, memangnya ini pertunjukan!". Dan sebagainya. Maksud perkataan itu menyiratkan adanya pemisahan antara yang benar-benar tontonan dan yang bisa dianggap (seolah-olah) tontonan.Lalu kapan sebuah peristiwa menjadi benar-benar tontonan? Ternyata, suatu aktivitas baru disebut sebagai tontonan apabila dilakukan dengan kesengajaan maksud untuk dilihat oleh orang lain, dipertontonkan atau digelar. Jadi, kehendak untuk mempergelarkan sesuatu merupakan "syarat pertama" sebuah tontonan. Namun, kenapa sebagian orang tetap (seringkali tidak sengaja) menonton hal-hal yang oleh pelakunya tidak dimaksudkan sebagai tontonan?
Ternyata, karena peristiwa-peristiwa itu menyajikan sesuatu yang tidak biasa (extraordinary). Berdasarkan itu, maka "syarat kedua" adalah ketidakbiasaan sebagai daya tarik tontonan. Gabungan keduanya menghasilkan "syarat ketiga", yakni adanya peristiwa yang mempertemukan antara maksud penyaji untuk menggelar sesuatu yang tidak biasa dengan harapan penonton untuk mengalami sesuatu yang tidak biasa pula.
Hal itulah yang mencoba dilakukan oleh sekumpulan anak muda saat membuat flash mob Tari Wanara di Jalan Malioboro. Ada kesengajaan dari mereka untuk mempergelarkan tontonan yang tidak biasa bagi masyarakat. Ketidakbiasaan itu antara lain mengubah jalan sebagai panggung. Tidak ada lagi batas pemisah antara siapa penampil dan penonton. Bahkan masyarakat dapat turut terlibat langsung untuk menari dan merasakan sensasi yang hendak digapai.
Lebih penting lagi, tarian itu mendekonstruksi pandangan tentang bagaimana tradisi harus dinikmati. Pelaku tak harus berias (berkostum) selayaknya penari panggung. Mereka justru memakai pakaian keseharian, biasa dan sederhana, alias tidak jauh beda dengan orang kebanyakan yang hadir di Jalan Malioboro. Hal itu menimbulkan efek tak terduga bagi penonton (masyarakat), bahwa di sekeliling mereka bertebaran penari yang tak menunjukkan jatidirinya sebagai penari.
Kostum keseharian itu menghapus jarak atau sekat. Dan masyarakat begitu terkejut saat tarian yang awalnya hanya dibawakan oleh seorang penari, semakin lama tiba-tiba bertambah banyak. Satu per satu penari itu muncul di sela-sela keramaian penonton. Bahkan tidak sedikit penonton yang mencoba untuk ikut menari.
Tontonan yang membosankan di atas panggung menjadi begitu bergairah saat dihadirkan di keramaian jalan. Hal yang demikian seolah melawan gaya pertunjukan tari yang selama ini lebih mengandalkan jumlah penari (kolosal) dalam penyajiannya, dibanding wacana atau gagasan yang ditimbulkan. Saat Banyuwangi menggelar Gandrung Sewu yang diikuti kurang lebih seribuan penari, tiba-tiba di beberapa daerah meniru dan melakukan hal serupa.
Muncullah kemudian Tari Gambyong yang ditarikan oleh 5.000 penari di Solo, Tari Saman yang dibawakan oleh 12.000 penari di Aceh, Tari Poco-poco yang dibawakan 65.000 penari di Jakarta, dan masih banyak lagi. Kalkulasi keberhasilan tontonan itu diukur dari jumlah banyak dan sedikitnya penari, bukan dari efek yang ditimbulkan dari peristiwa itu. Akibatnya, setelah selesai pertunjukan, maka selesai pula isu tentangnya.
Yang didapat adalah penghargaan berupa selembar sertifikat, berisi keberhasilan memecahkan rekor jumlah penari, tidak lebih. Hari ini, gaya yang demikian sudahlah ketinggalan zaman. Bila mengacu dari pandangan Lono Simatupang di atas, tidak ada aspek keterkejutan atau kebaruan selain bertambah dan menyusutnya jumlah penari. Terlebih, tontonan itu sengaja digelar di tempat yang sudah ditentukan sebagai "panggung", batas antara penonton dan penari sangat terlihat jelas.
Sementara flash mob tidaklah demikian. Georniana Gore lewat tulisannya Flash Mob Dance and the Territorialisation of Urban Movement (2010) menjelaskan bahwa flash mob menjadi menarik karena awalnya ditujukan untuk menyampaikan pesan secara unik (kata lain dari aneh). Flash mobdilakukan di area publik atau keramaian, dengan waktu yang terbatas, dan berakhir ketika aparat (polisi atau petugas keamanan) datang untuk membubarkan mereka.
Penyegaran
Flash mob tari hadir di tengah masyarakat urban, tidak sekadar untuk menghibur, namun juga memberi penyegaran di balik rutinitas hidup yang monoton-membosankan. Para pelaku itu "membawa" tari hadir di tengah-tengah aktivitas masyarakat tanpa harus jauh-jauh datang ke panggung pertunjukan. Flash mob kemudian memicu tawa, kebahagiaan, kesan, dan kekaguman mendalam di benak penonton.
Demikian pula flash mob di Jalan Malioboro. Walaupun tidak seketat mengikuti aturan flash mob pada umumnya, namun mampu memberi alternatif gaya baru bagi seni tradisi lain untuk mempertontonkan sesuatu yang biasa menjadi tidak biasa. Ketidakbiasaan itu yang ditunggu. Tentu saja tak harus muluk, apalagi mahal.
Aris Setiawan ; Etnomusikolog, pengajar di ISI Surakarta ***
Demikianlah Artikel
Sekianlah artikel
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel dengan alamat link https://seadanyaberita.blogspot.com/2019/06/minggu-30-juni-2019-1200-wib-kolom.html